SEJAHTERA BADMINTON

BERSAMA MEMBANGUN BULUTANGKIS INDONESIA

  • Meta

  • TIRTA SPORT ONLINE SHOP

    Promo Tirta
  • WIDE SCREEN FORMATED

    February 2009
    M T W T F S S
     1
    2345678
    9101112131415
    16171819202122
    232425262728  
  • JADILAH PEMENANG

    Pemenang selalu memiliki program

    Pecundang selalu memiliki alasan

    Ketika pemenang melakukan sebuah kesalahan,
    ia akan berkata “Saya melakukan kesalahan”

    Ketika pecundang melakukan sebuah kesalahan,
    ia akan berkata “Itu bukan kesalahan saya”

    Pemenang membuat komitmen-komitmen

    Pecundang membuat janji-janji

    Pemenang memilih seperti yang ia ingin lakukan

    Pecundang memilih sesuai pilihan orang banyak

    Pemenang membuat sesuatu terjadi

    Pecundang membiarkan sesuatu terjadi

  • BWF

    bwf-logo1
  • Archives

  • Top Posts

  • Enter your email address to subscribe to this blog and receive notifications of new posts by email.

    Join 5,029 other subscribers

Archive for February 11th, 2009

TIGA PEMAIN MUNDUR LAGI … LAGI !

Posted by SEJAHTERA BADMINTON on February 11, 2009


Patah tumbuh hilang berganti … selesai satu tumbuh seribu (masalah)

JAKARTA- Gejolak di pelatnas PB PBSI tidak otomatis reda setelah kemelut Markis Kido bersaudara beres. Sebab, tiga pemain lain mengirim surat pengunduran diri dari pelatnas utama.

Mereka, Vita Marissa yang mengajukan surat pengunduran diri kepada PB PBSI kemarin. Sehari sebelumnya, pasangan baru Hendra Aprida Gunawan/ Alvent Yulianto mengirimkan surat serupa.

Alasannya mereka sama, tidak adanya kecocokan nilai kontrak. Padahal, pertemuan Vita dengan pengurus sudah berlangsung tiga kali. Pertama dilaksanakan sebelum Vita berangkat menuju Malaysia Terbuka Super Series awal Januari lalu.

Karena belum ada titik temu, negosiasi dilaksanakan usai Korea Terbuka Super Series. Tapi, karena kesibukan, pengurus baru Jumat (6/2) bisa bertatap muka dengan pemain. Itu pertemuan kedua. Senin lalu, Vita kembali duduk satu meja dengan pengurus.

Namun, dalam forum itu tetap tidak tercapai kesepakatan. Vita berharap kontraknya naik 20 persen dari sebelumnya, Rp 400 juta per tahun.

Kabid Binpres PB PBSI Lius Pongoh belum bisa menanggapi pengunduran tiga pemain pelatnas itu. ”Surat pengunduran Vita baru saya terima. Kalau persoalannya uang kontrak, Vita tidak pernah ngomong minta naik berapa, kilahnya. Sebaliknya, pengurus sudah menjelaskan kontrak pemain plus nilai yang bakal diterima.

Sebenarnya, PB PBSI tidak pernah menutup kesempatan para pemain untuk berbicara. ”Pak Djoko (Ketum PB PBVSI Djoko Santoso, Red.) selalu bilang kami harus demokratis,” kata Lius. Namun, dia juga bersikukuh bahwa keputusan tetap akan di tangan pengurus.

Pihaknya juga tak melibatkan pelatih menyangkut persoalan kontrak pemain itu. Dia menilai pemain sudah cukup dewasa untuk menilai dan memutuskan sendiri.

Pelatih ganda campuran pelatnas PB PBSI Richard Mainaky kecewa dengan sikap PB PBSI itu. ”Kalau begini jadinya, rusak semua rencana saya ke depan. Utamanya untuk regenerasi,” ujarnya.

Dia memastikan, ganda campuran akan kehilangan satu generasi. Pasangan terbaik memang Nova Widianto /Lilyana Natsir. Namun, Vita diharapkan dapat menarik kemampuan Muhammad Rijal agar bisa mendekati kualitas Nova. Kalau tidak dilakukan regenerasi secepatnya, ganda campuran ketiga, Devin Lahardi/Lita Nurlita, masih cukup jauh gap-nya.

Pelatih ganda pria pelatnas Sigit Pamungkas tak kalah kecewa. Dia kehilangan ganda senior yang diharapkan bisa membantu pematangan pemain muda di pelatnas. (vem/cfu)

KARENA RANGKINGNYA DIBAWAH ! PANTASKAH ??

KETIKA bangun tidur kemarin, Vita Marissa masih bertanya-tanya pada dirinya sendiri. ”Antara yakin dan tidak yakin untuk menyerahkan surat pengunduran diri ini,” katanya saat ditemui di Pusat Bulutangkis PB PBSI Cipayung, Jakarta Timur, kemarin.

Maklum, gadis 28 tahun itu sudah 12 tahun tinggal di pelatnas. Namanya kini berjajar di antara pemain papan atas dunia. Di ganda wanita –bersama Liliyana Natsir– Vita masih nangkring di urutan lima dunia per 5 Februari lalu.

Itu sekaligus membuktikan, dia masih yang terbaik di nomor tersebut. Di ganda campuran, bersama Flandy Limpele, Vita juga berada di urutan ke-20 dunia meski sudah resmi cerai usai Olimpiade Agustus lalu. Dengan kenyataan itu, Vita berharap kontrak barunya, naik 20 persen dari Rp 400 juta per tahun yang diterimanya semasa periode Sutiyoso.

Namun, PB PBSI keberatan. ”Mereka beralasan sekarang ranking saya di bawah. Lagipula saya tak akan turun di ganda wanita lagi tahun ini,” ungkap Vita yang menemui pelatih ganda campuran Richard Mainaky untuk meminta tanda tangan surat pengunduran diri di Cipayung. Dia sengaja datang setelah pemain pelatnas selesai berlatih.

Memang, bersama Muhammad Rijal, Vita harus merangkak dari bawah lagi. Setelah lima bulan berpasangan, Vita/ Rijal berada di peringkat ke-44 dunia. Penggantian pasangan itu keputusan PB PBSI, bukan keinginan Vita.

Ternyata, perceraian Vita/Flandy mempengaruhi nilai kontrak. ”Memang tidak turun. Tapi, kenapa tidak bisa naik?” tanya Vita. ”Toh, kalau mau cari save, dalam nilai uangnya, mending tidak saya ceraikan Flandy. Saya pasti bisa sampai semifinal atau final sekaligus,” ujar juara Singapura Terbuka 2007 itu.

Dia mengaku baru kali ini protes PB PBSI menyangkut kontrak. Sebelumnya, dia hanya pasrah. Termasuk, saat PB PBSI memberi kontrak Rp 2,5 juta sebulan saat dia cedera bahu kanan pada Malaysia Terbuka 2004.

”Sisa waktu saya di sini tidak lama. Paling lama dua tahun lagi. Tapi, ternyata PBSI tidak bisa mengakomodir keinginan saya,” katanya. ”Ini bukan ancaman. Saya siap bertahan, tapi saya tidak mau berdebat lagi. Seharusnya mereka sebagai bapak di sini tahu bagaimana kondisi pemain,” lanjut Vita. Matanya berkaca-kaca. Jika PB PBSI melepasnya, Vita memilih break dulu. ”Saya tetap akan bermain bulutangkis. Tapi, saya akan chek up kondisi bahu saya,” katanya. (vem/cfu)

(Sumber: Jawapos.co.id)


Posted in Berita | Leave a Comment »

PP 10 MENGUBAH PETA BULUTANGKIS DUNIA

Posted by SEJAHTERA BADMINTON on February 11, 2009


Oleh Wens Gerdyman (ditulis kembali tanpa maksud untuk mendeskreditkan atau mengungkit kejadian masa lalu)

Begitu pemain tunggal putra Tiongkok, Lin Dan  memenangkan medali emas di Olimpiade Beijing 2008, dia langsung melompat kegirangan dan memeluk kedua orang pelatihnya. Maklum, walaupun ia memegang ranking IBF (persatuan bulutangkis internasional) nomor satu dan sudah memenangkan Kejuaraan Dunia, Thomas Cup, dan All England, empat tahun sebelumnya di Athena, Yunani, ia harus menggigit jari dikalahkan di babak pertama oleh pemain Singapura asal Indonesia, Ronald Susilo. Lawan bebuyutannya kala itu, Taufik Hidayat, yang akhirnya memenangkan medali emas 2004. Di tahun ini, Taufik tersingkir di babak pertama oleh pemain Malaysia, Wong Choon Hann.

lin-danPenggemar bulutangkis di Indonesia pasti tak asing lagi dengan salah satu pelatih Lin Dan, yang oleh persatuan bulutangkis Tiongkok diberi tugas khusus untuk mempersiapkan Super Dan – demikian ia biasa dipanggil oleh media luar negeri – untuk merebut medali emas. Ia tak lain ialah Tang Xianhu, bekas pelatih Tim Nasional Indonesia dari tahun 1987 sampai dengan 1997.

Tang Xianhu (menurut ejaan standar bahasa Tiongkok, pinyin) juga dikenal dengan nama Tong Sinfu (ejaan bahasa Kanton), dan ketika masih mewakili Indonesia sebagai pemain yunior di akhir tahun 1950-an, memakai nama lahirnya Thing Hian Houw (ejaan bahasa Hokkian, yang lazim dipakai di Indonesia sejak masa Hindia Belanda). Di masa 1950-an, para pemain papan atas Indonesia didominasi oleh etnis Tionghoa, misalnya Tan Joe Hok dan Njoo Kiem Bie, dengan beberapa perkecualian misalnya Ferry Sonneville yang keturunan Eropa. Di bagian yunior, Hian Houw termasuk pemain generasi berikutnya.

Di masa itu juga, politik adalah panglima. Presiden Sukarno dekat dengan PKI, tapi bila perlu akan memberi angin kepada tentara yang di masa perang dingin itu mengambil haluan politik sangat kanan. Dengan dimotori oleh tentara, di tahun 1959, pemerintah Sukarno meluncurkan Peraturan Pemerintah Nomor 10, yang melarang etnis Tionghoa berdagang di kota tingkat kecamatan, jika mereka tidak memiliki surat bukti kewarganegaraan Indonesia (SBKRI). “Pai hua” (racial harrassment), lagi-lagi “pai hua”, keluh etnis Tionghoa. Mengurus SBKRI, bahkan sampai 40 tahun kemudian pun, makan waktu bertahun-tahun dan uang banyak. Alhasil, PP10, demikian ia dikenal, dalam waktu semalam membuat puluhan ribu warga Tionghoa di pelosok-pelosok kelihangan aset dan mata pencaharian.

Tak kurang dari sastrawan dan intelektual nomor wahid Pramudya Ananta Toer, memprotes ketidakadilan itu, yang dituangkannya dalam satu buku penuh data otentik dan tabel-tabel berjudul “Huakiao di Indonesia”. Atas keberaniannya sebagai satu-satunya “suara di padang pasir”, Toer dipenjarakan tentara.

Sebagai akibat dari ketidakbijakan ini, terjadi eksodus besar-besaran di tahun 1960 dari Indonesia ke Tiongkok. Bagaimana jika anda dilarang bekerja di bidang yang sudah turun temurun dilakukan dan diusir dari toko keluarga? Puluhan ribu pemuda-pemudi Tionghoa direpatriasikan ke kampung halaman nenek moyang mereka, walaupun bahasa Mandarin tidak begitu mereka kuasai atau mereka ucapkan dengan aksen Jawa yang kental.

Termasuk dalam rombongan ini ialah pemain-pemain top bulutangkis yunior di Indonesia, termasuk Thing Hian Houw (Jakarta), Houw Ka Tjong (Semarang), dan Fang Kaixiang (Surabaya) di rombongan pria, dan Tan Giok Nio and Leung Tja Hoa di bagian wanita. Sesampainya di Tiongkok, nama-nama mereka diterjemahkan ke dalam bahasa Mandarin menjadi Tang Xianhu, Hou Jiachang, Fang Kaixiang, Chen Yuniang, dan Liang Qiuxia. (Liang Qiuxia sendiri ialah kakak Tjun Tjun, yang kemudian bersama Johan Wahjudi menang piala ganda putra All England 5 kali berturut-turut.) Dengan cepat mereka menjadi pemain-pemain papan atas di Tiongkok, karena mereka membawa serta permainan dan latihan “speed and power” yang dikembangkan oleh klub-klub bulutangkis di Indonesia (yang memungkinkan Indonesia mendominasi Thomas Cup dan All England 1956-1980).

Dalam setiap pertandingan internasional yang mereka hadapi, tidak ada yang mampu mengalahkan Tang cs. Bahkan Erland Kops, juara All England sebelum Rudy Hartono naik daun, hanya diberi 5 dan 0 dalam suatu pertandingan persahabatan waktu Kops berkunjung ke Tiongkok. Di masa itu, duo pendekar bulutangkis Hou dan Tang ini dikenal sebagai pendekar jurus monyet (Hou dari Hou Jiachang sama bunyinya dengan hou monyet) dan pendekar jurus macan (Hu dari Xianhu sama bunyinya dengan hu macan).

Sayangnya, perkembangan politik di Tiongkok membuatnya menjadi negara yang tertutup (tirai bambu). Pertama, Republik Rakyat Tiongkok sampai tahun 1974 tidak diakui oleh Persatuan Bangsa Bangsa; Republik Nasionalis Tiongkok (Taiwan) lah yang diakui oleh PBB dan banyak negara lain sebagai satu-satunya negara Tiongkok. Kedua, ketua Partai Komunis Tiongkok Mao Zedong meluncurkan program revolusi kebudayaan yang makin membuat Tiongkok terisolasi dari dunia internasional dan membuat perkembangan ekonomi dan budaya Tiongkok mandek selama era 1968-1978. Ketiga, G30S PKI di Indonesia dengan imbas samping terputusnya hubungan diplomatik mengakibatkan pertukaran informasi dan budaya antara Indonesia dan Tiongkok sama sekali terputus antara 1965-1980. Tiongkok sendiri anggota World Badminton Federation, sedangkan Indonesia anggota International Badminton Federation.

Akibatnya, Tiongkok tidak pernah turut serta All England, Piala Thomas/Uber, dan turnamen lainnya yang disponsori oleh IBF. Paling-paling hanya Asian Games. Hou Jiachang dan Tang Xianhu di masa jayanya di tahun 1960-an dan awal 1970-an tidak pernah bertanding dengan pemain legendaris Indonesia Rudy Hartono. Pada waktu mereka mulai gaeklah (usia 36) mereka bermain melawan Iie Sumirat dalam suatu pertandingan di Bangkok dan kalah. Jadi kita tidak akan pernah tahu, siapa yang lebih hebat: Hou dan Tang atau Rudy Hartono.

Begitu mereka pensiun sebagai pemain, Tang, Hou, dan Liang melanjutkan karier mereka sebagai pelatih. Tang dan Liang kemudian menjadi pelatih kepala tim nasional putra dan putri. Dapat dikatakan efek mereka sebagai pelatih jauh lebih besar daripada sebagai pemain. Para pebulutangkis didikan mereka, langsung maupun tak langsung, langsung mampu bersaing dengan Liem Swie King dkk. begitu pintu diplomasi dibuka di tahun 1980. Dalam pertarungan persahabatan di tahun 1980, Indonesia dikalahkan tipis 5-4 oleh tim Tiongkok yang berisi Han Jian, Luan Jin, antara lain.

Generasi berikutnya Yang Yang, Zhao Jianhua naik daun bersamaan dengan turunnya pamor Liem Swie King karena usia. Icuk Sugiarto dicatat sejarah sangat kesulitan dan tidak pernah menang melawan Yang Yang. Di bagian putri yang secara tradisional didominasi oleh Jepang dan kadang-kadang Indonesia, anak didikan Liang Qiuxia menyapu semua pertandingan internasional di tahun 1980-an, dengan dimotori Li Lingwei, Han Aiping, dkk. Tang sendiri mengatakan, ia tidak bisa mengubah batu menjadi emas. Artinya, bakat harus ada, tidak bisa tanpa bakat dengan latihan langsung menjadi juara. Tapi peran pelatih dan tradisi disiplin dan kemampuan teknis yang dibawanya tidak bisa dianggap remeh.

Buktinya? Setelah Deng Xiaoping (pengganti Hua Guofeng yang ditunjuk oleh Mao Zedong sepeninggalnya) menjabat sebagai pemimpin RRT, ekonomi Tiongkok dibuka lebar. Pelatih boleh bekerja di luar negeri untuk mendapatkan penghasilan lebih. Tang Xianhu dan Liang Qiuxia memilih kembali ke tanah kelahiran mereka dan diangkat oleh PBSI menjadi pelatih tim nasional Indonesia, sejak tahun 1987. Seorang pemain bulutangkis Amerika keturunan Vietnam pernah berlatih dengan timnas Indonesia di tahun 1988. Ia bercerita, latihan sangat berat. Delapan jam sehari, ditambah dua jam latihan main. Jika ada yang kakinya terkiliri, pelatih dengan keras akan berkata: “Bangun, atau keluar”.

Hasil dari latihan keras ini? Ardy Wiranata, Heryanto Arbi kembali memenangkan All England berkali-kali. Di tahun 1992, Allan Budikusuma dan Susy Susanti mengawinkan medali emas putra-putri di Barcelona. Pemain-pemain tunggal Indonesia, digabung dengan kekuatan tradisional Indonesia di ganda putra yang dilatih Christian Hadinata, kembali mendominasi piala Thomas. Di bagian putri, Susi Susanti dkk. untuk pertama kalinya sejak 1976 memenangkan Piala Uber. Susi sendiri mengakui peranan “cik Chiu-Hsia” demikian Liang dipanggil oleh anak didiknya di pelatnas. Tiongkok kelabakan ditinggal oleh dua pelatih dewa ini, dan perlu beberapa tahun untuk membangun kembali program mereka di bawah Li Yongbo, bekas didikan Tang juga.

Sekembalinya di Indonesia dan melanjuti sukses mereka, Tang dan Liang bahkan mau kembali menjadi warga negara Indonesia. Bahasa Indonesia mereka masih lancar. Bahkan kalau mereka bicara bahasa Mandarin dengan aksen Indonesia. Tapi, mengurus SBKRI tidak gampang. Kemudian terjadi krisis moneter dan dampak negatifnya kerusuhan rasial Mei 1998 yang lagi-lagi ditunggangi oknum-oknum tentara. Tang memilih kembali ke Tiongkok ke tanah leluhur di Hokkian. Walaupun tidak jadi pelatih kepala, ia diminta melatih ganda putra dan secara selektif beberapa tunggal putra.

Hasilnya? Tiongkok kembali naik daun. Ji Xinpeng meraih emas mengalahkan Hendrawan (juga bekas murid Tang) di Sydney 2000. Hanya Taufik yang mampu mematahkan dominasi itu di Athena 2004. Pemain-pemain Tiongkok kembali mendominasi kejuaraan-kejuaraan beregu, baik Thomas, Uber, maupun Sudirman Cup. Dan terakhir, Lin Dan membalas kekecewaan empat tahun lalu dan mempersembahkan medali emas kepada Tiongkok dan pelatihnya, Tang Xianhu alias Thing Hian Houw.

Jika bukan karena PP 10, hari ini RRT tidak akan mempunyai tradisi bulutangkis dominan yang diluncurkan oleh Tang, Hou, Liang, dkk., etnis Tiongkok asal Indonesia. Bukan tidak mungkin Indonesialah yang mendominasi total semua medali emas putra dan putri di dalam Olimpiade.

Posted in Berita | 1 Comment »

SIMON SANTOSO

Posted by SEJAHTERA BADMINTON on February 11, 2009


Walaupun Sony Dwi Kuncoro namanya sudah “terbang” duluan dibandingkan Simon, tetapi nama Simon lah yang sekarang lebih banyak bersemayam di dalam hati dan kepala para gadis belia Indonesia, penggemar bulutangkis.

simon-21Selain wajahnya yang seperti tidak lekang dimakan waktu dan memincut banyak hati gadis belia tanah air, rapor anak Tegal kelahiran 29 Juli 1985 ini juga tidak mengecewakan. Banyak pemain papan atas yang berperingkat di atasnya maupun yang lebih berpengalaman darinya yang merasakan sengkatan Simon di turnamen elit internasional. Sebutlah Peter Gade (DEN), Chen Yu (CHN), Ng Wei (HKG), Boonsak Ponsana (THA), Taufik Hidayat (INA), Hafiz Hashim (MAS), Shon Seung Mo dan Lee Hyun Il (KOR), dan Ronald Susilo (SIN).

Lahir di kota pabrik kok bulutangkis terbesar di Indonesia, Simon adalah bungsu dari empat bersaudara. Serius dengan bulutangkis, dia pun bertolak ke Jakarta dan masuk ke PB Tangkas sebelum ahirnya ditarik masuk ke pelatnas pada tahun 2002 ketika Indonesia mengalami seretnya regenerasi di tunggal putra.

Sejak itulah Simon digembleng untuk menjadi salah satu tumpuan harapan bangsa, dan pecinta komik Kungfu Boy ini mengerjakan “PR”-nya dengan baik. Setahun kemudian (2003) dia sukses menjadi runner-up di Singapore Satellite, dan mulai akhir tahun itu, Simon dikatrol naik bertanding ke turnamen internasional bintang lima. Walaupun waktu itu masih dalam kadar “mengenyam” pengalaman, toh Raphael Sachetat, fotografer bulutangkis senior menyebut Simon sebagai pemain muda, cerdas, dan sangat berbakat ketika Simon mencuri banyak perhatian setelah mengalahkan Peter Gade lalu Shon Seung Mo di Hongkong Terbuka 2003.

Gelar pertamanya dia sabet di Vietnam Satelit 2005, yang dapat dikatakan sebagai turnamen bintang empat – dan membuktikan bahwa nihilnya “prestasi” Simon di turnamen bintang lima saat itu bukan berarti dia salah level, tetapi memang karena Simon belum cukup matang saja.

2006, Simon mulai naik daun. Dia mulai cukup sering menerobos ke dalam perempat final.

Pada tahun 2007, dia membuat penonton Swis Terbuka tercengang karena dia berhasil menjadi finalis turnamen bintang lima ini setelah berangkat dari babak kualifikasi! Di kejuaraan ini, Simon menundukkan Wong Choong Hann (MAS), Ronald Susilo (SIN), dan Chen Yu (CHN), dan melewati Lin Dan yang tidak menyelesaikan set kedua karena cedera sebelum akhirnya terhenti langkahnya oleh Chen Jin (MS) di final.

Tahun ini, tahun 2008, Simon adalah salah satu atlit tunggal putra kebanggaan Indonesia yang sudah lebih matang, lebih siap, dan lebih berpengalaman. Walaupun pelatihnya mengatakan Simon perlu untuk lebih memantapkan stamina serta kepercayaan dirinya, secara teknis dia adalah pemain papan atas dunia.

Teruslah Berjuang, Simon!

Posted in Tokoh | 1 Comment »

KIDO KEMBALI KE PELATNAS

Posted by SEJAHTERA BADMINTON on February 11, 2009


markisJAKARTA – Ketegangan internal PB PBSI mereda. Markis Kido dan kedua adiknya Pia Zebadiah Bernadette dan Bona Septano akhirnya kembali menjalani latihan di Pelatnas Cipayung.

Keputusan balik ke pelatnas lantaran ada kesepahaman antara pengurus otoritas bulu tangkis Tanah Air itu dengan Markis dan kedua adiknya, terutama mengenai kenaikkan nilai kontrak tahun ini.

“Sudah tidak ada masalah. Saya telah dijelaskan oleh pengurus dalam diskusi di pelatnas. Saya kemungkinan akan kembali menjalani latihan di pelatnas besok,” kata Markis, Senin (9/2/2009).

Sayang, Markis kembali bergeming ketika ditanya mengenai kesepakatan nilai kontrak yang disetejui pengurus PB PBSI. Dia hanya membeberkan saatnya fokus menjalani persiapan menghadapi All England, 3-8 Maret 2009.

“Saya ingin fokus saat ini. Apalagi, perasaan mulai lega setelah ada penjelasan dari pengurus. Saya berharap momen itu akan meningkatkan kepercayaan diri untuk hasil optimal di All England,” jelasnya.

Menurutnya, dalam diskusi kemarin, pengurus PB PBSI tak hanya menyelesaikan masalah kontrak. Mereka -Lius Pongoh dan Christian Hadinata- juga telah meredakan kegundahan hatinya dari perkataan kepengurusan lama.

Markis tak ingin menyebut apa perkataan pengurus PB PBSI era Sutiyoso it. Tapi, dia ingin kembali menemukan jati dirinya untuk bergabung di pelatnas.

Sementara M.F Siregar selaku sesepuh bulutangkis Indonesia bersyukur atas keputusan itu. Maklum, menurutnya, Markis dan dua adiknya merupakan salah satu aset bulu tangkis Indonesia.

“Saya lega dengan keputusan tersebut. Permasalahan itu membuat persiapan Indonesia tak akan terganggu menghadapi All England,” ujar pria yang akrab disapa Opung tersebut.

Dia pun berharap persiapan pebulu tangkis pelatnas Indonesia lebih ditingkatkan. Masalahnya waktu turnamen prestisius di Inggris itu terbilang mepet.

Kasubbid Pelatnas Cipayung Christian Hadinata menjelaskan, tak ada masalah dengan persiapan pemain. Diharapkan selesainya masalah ini membuat atmosfer pelatnas kembali ke bentuk semula.

“Kami masih fokus berlatih, bahkan anak-anak terus digenjot untuk hasil optimal di event All England,” cetus Christian.

Sumber : Okezone

Posted in Berita | Leave a Comment »