Oleh: Ferry Irawan
(Bulutangkis.com) – Enerjik, defensif dan penempatan bola-bola yang akurat merupakan ciri khas permainan Alvent Yulianto Chandra saat beraksi di lapangan. Penampilannya yang justru ‘cool’ di luar lapangan ternyata mampu memikat daya tarik tersendiri bagi sosok Alvent di mata para penggemarnya.
Sukses bertengger di satu dunia bersama Luluk Hadiyanto di pertengahan tahun 2004, prestasinya sempat ‘mandeg’ sampai akhirnya menembus babak final Malaysia SS 2009 bersama Hendra Aprida Gunawan.
Persiapan Minim, Mental Juara
Di awal tahun 2009, Alvent membuka peruntungan baru bersama partner lamanya, Hendra Aprida Gunawan (AG). Penampilan pemain ganda kelahiran Glenmore, 11 Juli 1980 ini kembali mencuat dan menjadi fenomenal setelah berhasil menjadi runner up turnamen Malaysia SS 2009 sebulan yang lalu. Bersama AG, meski tanpa pelatih dan sponsor plus persiapan selama dua bulan terakhir keduanya berhasil menjegal tandem terbaik dunia saat itu yang juga merupakan juara bertahan, Markis Kido/ Hendra Setiawan di laga semifinal meskipun di partai pamungkas Alvent/AG harus menyerah dari duo Korea, Jung Jae Sung/Lee Yong Dae.
“Meskipun ga ada pelatih dan kok, tapi dimaksimalin yang ada aja” jelas Alvent saat diwawancarai oleh Bulutangkis.com mengenai persiapannya di turnamen Malaysia SS dan Korea SS tahun ini. Bahkan Alvent sempat mengungkapkan bahwa persiapannya cukup minim sebelum akhirnya berani mendaftarkan diri bersama AG. “Saya berusaha untuk ga menyia-nyiakan waktu aja buat persiapannya” tambah Alvent kemudian.
“Saya sempat bersama AG sebelumnya dari tahun 2001-2002”, kenang Alvent. “Bahkan kita sempat mengikuti pertandingan selama setahun dari awal masuk Pelatnas” lanjutnya. Duo Alvent/AG saat itu mampu mencuat hingga 16 dunia, bahkan keduanya sempat menembus babak semifinal dan peremptfinal di beberapa turnamen besar sebelum akhirnya Alvent disandingkan bersama Luluk Hadiyanto di akhir tahun 2003. Prestasi terbaik bersama Luluk adalah menjadi pasangan terbaik dunia setelah menjuarai Indonesia Open 2004 dan mengalahkan ganda terbaik dunia saat itu, Fu Haifeng/ Cai Yun (China).
Taji LuVent akhirnya mulai pudar seiring berjalannya waktu dengan beberapa masalah beruntun yang mengikuti keduanya. Sempat berpijar sejenak di awal tahun 2008 saat duetnya bersama Luluk Hadiyanto ditundukkan oleh tandem terbaik China, Fu Haifeng/Cai Yun pada babak final Korea SS. LuVent harus mengelus dada karena harus pupus menjadi ganda ke-2 tim Thomas Indonesia 2008. Kesempatan untuk tampil maksimal saat berlaga di kandang sendiri, Indonesia Open SS 2008 ternyata juga tak mampu terealisasi.
Olimpiade 2008 yang dirancangkan akan menjadi ajang pembuktian eksistensi keduanya untuk mencari sponsor ternyata berakhir tidak sesuai dengan yang diharapkan. Di babak 16 besar, LuVent harus menyerah atas ganda Jepang, Shuichi Sakamoto/Shintaro Ikeda, 21-19, 14-21, 14-21. “Ga ada perasaan menyesal sama sekali”, ungkapnya saat ditanya perihal kekalahan waktu itu. “Semua pasti ada sebabnya”.
‘Dipaksa’ Main Bulutangkis
Kembali bernostalgia ke masa lalu, ternyata Alvent memiliki cerita unik seputar awal kecintaannya di dunia bulutangkis. “Lucu juga kalo diinget-inget”, kenang Alvent sembari tersenyum. “Saya sekolah di kampung, SD Inpres. Satu kelas juga isinya cuma 12 orang” tuturnya lirih. Namun meskipun jauh dari pusat kota, pria yang berasal dari desa Banyuwangi, Jember ini mengaku tidak pernah patah semangat. “Waktu itu saya kelas 5 SD, tiba-tiba ditunjuk guru untuk main bulutangkis di acara PORSENI”, akunya.
Sejak saat itu Alvent kecil yang juga pengidola jagoan sepakbola sekampungnya, Hendro Kartiko ini meminta bantuan sang Papa untuk melatihnya. “Padahal sebelumnya belum pernah main bulutangkis sama sekali. Papa saya juga bukan atlet” cerita Alvent. Walaupun akhirnya kalah, ketekunan Alvent membuatnya mampu menjadi juara PORSENI sewaktu duduk di bangku kelas 6. Bahkan tidak beberapa lama kemudian Alvent sudah mampu menjadi juara 3 se-Jawa Timur.
Akhirnya beranjak dari sana beberapa klub langsung mengajaknya untuk bergabung dan serius menekuni bulutangkis. Alvent pun akhirnya memilih untuk berlatih di klub Jawa Pos. Namun sayangnya klub yang banyak melahirkan nama-nama besar di Jember inipun akhirnya mengalami kebangkrutan. “Latihannya bagus. Cuma sayangnya Jawa Pos udah ga mau kasih dana lagi, jadi ya bubar,” tutur Alvent perihal kepailitan yang dialami klubnya. Tepat di tahun 1995, Alvent akhirnya memutuskan untuk hijrah ke Surabaya dan bergabung dengan Suryanaga.
Enam tahun di Suryanaga, Alvent akhirnya mendapatkan kesempatan untuk bergabung dengan Pelatnas tepat di tahun 2001. “Di Suryanaga sih jarang juara, paling juga semifinalis” sahut Alvent. “Di Pelatnas juga hoki, setelah masuk seniornya pada hengkang. Tony ke Amerika, Halim akhirnya menyusul. Jadi saya cepat majunya karena sering dikirim” tambahnya kemudian.
“Park Joo Boong”, jawab Alvent singkat saat ditanya mengenai atlet dunia yang sangat diidolakannya untuk diajak berduet. “Mainnya bagus. Kim Doong Moon juga bagus, soalnya tipe permainannya mirip sama Park”, papar Alvent bersemangat. “Semua berat sekarang. Kekuatan atlet udah merata” lanjutnya saat ditanya mengenai siapa lawan tanding yang paling disegani saat ini.
Menyikapi perihal plot-plotan atlet yang sempat terjadi antara para pelatih di Pelatnas dan berujung pada ‘gontok-gontokan’ kepentingan pada saat rapat, Alvent hanya bisa tersenyum seraya berujar, “No comment deh klo soal itu, mestinya pertanyaan ini nanyanya sama Ko Lius deh”.